Harta, tahta, wanita. Mungkin sudah
banyak dari kita yang pernah (atau bahkan sering) mendengar ungkapan tersebut.
Ungkapan tersebut sering disebut – sebut sebagai penyakit kaum pria. Hal
tersebut didasarkan pada banyaknya pria yang memang tergila – gila dengan
harta, tahta, dan wanita. Namun, bagi saya ungkapan tersebut bukanlah ungkapan
yang bermakna negatif seperti pemaparan di atas. Justru dalam sudut pandang
saya, ungkapan tersebut memiliki makna positif. Itulah kemudian yang akan saya
bahas dalam tulisan ini.
Harta, tahta, wanita. Bagi saya
ungkapan tersebut merupakan sebuah konsep. Lebih tepatnya, salah satu konsep
dalam kehidupan. Mengapa saya katakan demikian? Jika kita menelaah tiga hal
tersebut (harta, tahta, wanita), maka kita akan mendapati bahwa tiga hal itu
berurutan. Maksudnya, dalam menjalani kehidupan kita harus mendapatkan tiga hal
tersebut secara berurutan, yaitu pertama mendapatkan harta, kemudian
mendapatkan tahta, baru yang terakhir mendapatkan wanita. Mengapa yang pertama
kita harus mendapatkan harta? Harta di sini dapat kita maknai sebagai alat
tukar (sebut saja uang), yang mana kita tahu bahwa harta merupakan hal yang
penting jika kita ingin bertahan hidup, terutama dalam kehidupan bersosial.
Sebagai contoh, untuk bisa hidup kita membutuhkan pangan, dan untuk memenuhi
kebutuhan pangan tentunya kita membutuhkan bahan makanan. Di sinilah kemudian
harta berperan sebagai alat tukar sehingga kita dapat memperoleh bahan makanan.
Hal tersebut juga berlaku untuk sandang dan papan. Itulah mengapa harta berada
pada urutan pertama.
Selanjutnya yaitu tahta. Setelah
kita memiliki harta, kita akan menyadari bahwa harta tersebut hanya mampu untuk
memenuhi kebutuhan primer. Kita akan sadar bahwa kita memiliki kebutuhan –
kebutuhan lain (sebut saja kebutuhan sekunder) yang harus terpenuhi. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, tentunya kita membutuhkan harta yang lebih, yang
berarti pendapatan tambahan. Di sinilah peran tahta. Seperti yang kita tahu,
bahwa sudah lazim jika semakin tinggi tahta seseorang, maka semakin banyak
pendapatannya, semakin banyak hartanya. Dengan peningkatan harta inilah
kemudian kita dapat memenuhi kebutuhan sekunder. Sebagai gambaran, misalkan
kita melamar pekerjaan sebagai karyawan warung makan, maka kita akan
mendapatkan gaji dari bos kita yang kemudian kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan
primer. Setelah beberapa waktu, ternyata kita memiliki cukup tabungan untuk
membuka warung makan sendiri, sehingga kita pamit kepada bos untuk resign.
Setelah kita membuka warung makan, kita memiliki karyawan, dan kitalah yang
menjadi bosnya. Dan karena kita bosnya, maka kita tidak lagi digaji, melainkan
kitalah yang menggaji.
Yang terakhir adalah wanita. Untuk
mendapatkan harta dan tahta, tentunya kita membutuhkan waktu yang relatif lama.
Sehingga ketika kita telah mendapatkan harta dan tahta, maka kita telah cukup
umur (baik secara fisik maupun psikis) untuk mendapatkan wanita. Jika kita
melihat generasi saat ini, banyak sekali remaja bahkan anak – anak yang sudah
berpacaran. Jadi, mereka melewati tahapan mendapatkan harta dan tahta.
Akibatnya, banyak sekali kasus – kasus hamil di luar nikah, seks bebas, bahkan
saking bebasnya ada yang melakukannya di tempat ibadah. Hal itu dikarenakan
mereka memang belum pantas (baik secara fisik, psikis, maupun finansial) untuk
mendapatkan wanita. Jadi, kita tidak bisa kemudian merubah urutan konsep
“harta, tahta, wanita” karena memang urutan konsep tersebut didasarkan pada
usia kita. Setelah lulus pendidikan kita bekerja, bekerja dengan tekun kita
mendapatkan tahta, setelah cukup dewasa kita mendapatkan wanita.
Mungkin hanya itu saja yang dapat
saya sampaikan. Sebagai tambahan, jika kita membuka KBBI dari halaman awal
hingga halaman akhir, maka kita akan mendapati dari tiga hal yang disebutkan di
atas yaitu yang pertama harta, kemudian tahta, baru yang terakhir wanita. Jadi,
dalam KBBI pun urutannya memang seperti itu. Kurang lebihnya saya mohon maaf,
dan terima kasih.
0 Response to "“HARTA, TAHTA, WANITA” DALAM SUDUT PANDANG POSITIF"
Posting Komentar